Senin, 19 Oktober 2009

MENGENAL ISTILAH STOC (STANDING OVER CANE) ATAU CARRY OVER CANE


STOC merupakan istilah bagi kebun tebu yang tidak tertebang pada satu musim giling kemudian dibiarkan (baik dirawat atau tidak) kemudian ditebang dan giling pada awal musim giling selanjutnya. Mengapa sampai ada kebun-kebun yang tidak tertebang? Banyak faktor penyebab munculnya petak-petak STOC antara lain:

  1. Jumlah penebang kurang sehingga tidak memenuhi pasok tebu, akibatnya jadwal tebang molor sehingga terjadi petak-petak tidak tertebang.
  2. Tebangan belum juga selesai memasuki musim penghujan, sehingga petak-petak yang akses tranportasinya sulit tidak bisa diambil produksinya.
  3. Kondisi jalan, timbunan dan jembatan tidak memungkinkan untuk mengambil produksi pada petak-petak yang bersangkutan.
  4. Sengaja tidak ditebang sebagai persiapan untuk bongkaran PC pada awal musim giling selanjutnya(biasanya petak-petak sulit yang masa tanamnya masak akhir agar musim selanjutnya bisa ditebang pada masak awal/ tengah).
  5. Kapasitas pabrik tidak sesuai dengan jumlah tebu di lahan.

Pada dasarnya petsk-petak STOC tersebut akan ditebang dan digiling pada awal musim tebang tgahun depan, tetapi adakalanya harus dibongkar apabila jumlahnya terlalu banyak, sedangkan ketersediaan lahan bongkaran PC di awal musim(masak awal) tidak ada. Bahkan bisa juga dirawat apabila jumlah petak-petak STOC terlalu banyak sedangkan apabila akan dibongkar, jumlah unit LP (land preparation) tidak mencukupi.

Lalu bagaimana perlakuan STOC? Apakah selalu dibongkar menjadi PC (plant cane)? Jawabannya adalah tidak selalu. Tergantung kondisi kebun yang bersangkutan. Apabila kondisinya masih layak di-ratoon-kan maka penyelesainnya dengan cara trash lining, yaitu tebu ditebang (sebelumnya petak tsb dibakar dulu) kemudian ditumpuk memanjang pada juringan dengan sistem 2:2 yaitu setiap 2 juring bersih, 2 juring selajutnya tempat untuk menumpuk tebu yang ditebang tadi. Lebih lengkapnya bisa dilihat di gambar berikut.

Pertanyaan selajutnya kalau petak tersebut mau dibongkar menjadi PC bagaimana penanganan pengolahan tanahnya, padahal kondisi tebu masih tegak (tidak tertebang). Ada dua cara:

1. Tebu dirobohkan menggunakan implement Plougharrow(giant harrow) 32 inch kemudian di harrow dua kali lagi menggunakan plough harrow, garu sekali lagi menggunakan finishing harow 28 inch baru di kair. Traktor penarik pada saat merobohkan tebu adalah traktor 4WD 300 HP.

2. Tebu terlebih dahulu dirobohkan menggunakan implement towner harrow yang ditarik menggunakan bulldozer. Urutan pekerjaan selanjutnya adalah garu I menggunakan plough harrow, garu II mengunakan finishing harrow baru kemudian di kair. Cara seperti ini sangat meringankan beban kerja ploughharrow karena tidak langsung merobohkan tebu berdiri melainkan mencacah tebu yang sudah dirobohkan oleh bulldozer.

Pekerjaan merobohkan tebu menggunakan bulldozer dengan implement harrow towner dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, petak yang akan dirobohkan terlebih dahulu dibakar baru kemudian dirobohkan. Dengan cara ini kebutuhan HM bulldozer per ha akan kebih kecil, sekitar 2,5 HM/hektar. Selain itu bulldozer dijamin aman dari bahaya kebakaran akibat terbakarnya serasah/daduk. Kelemahan dengan cara ini adalah tebu-tebu yang dirobohkan tidak terpotong karena “ulet” atau kenyal sehingga menyulitkan proses pengolahan tanah selanjutnya, terutama pada tahapan pengkairan (furrowing). Cara kedua adalah bulldozer langsung memasuki petak di mana petak tersebut tidak dibakar terlebih dahulu, pembakaran petak baru dilakukan setelah petak kebun selesai dirobohkan. Dengan cara ini kebutuhan HM per hektar agak tinggi sekitar 3 HM/hektar. Tebu-tebu yang dirobohkan mudah terpotong-potong oleh harrow towner sehingga memudahkan pengolahan tanah lanjutan. Satu hal yang diharus diwaspadai agar operator ekstra hati-hati karena unit bekerja ditengah petak kebun yang didalamnya banyak serasah daun tebu/daduk mudah sekali terbakar akibat panas enjin ataupun tetesan oli/solar dari unit yang sedang bekerja. Dengan panduan HM yang penulis sajikan di atas, pembaca akan sangat mudah menghitung kebutuhan HM bulldozer untuk merobohkan petak STOC. Ambil contoh kita punya kebun STOC yang akan dirobohkan seluas 100 ha, apabila kita ingin merobohkan tanpa membakar petak tersebut terlebih dahulu maka kebutuhan HM bulldozer=(100 ha)x(3HM/ha)=300 HM. Mudah bukan?

*)HM=hourmachine=jam kerja unit.

Jumat, 09 Oktober 2009

SENGKETA LAHAN PERKEBUNAN: PERUSAHAAN PERKEBUNAN MERAMPAS TANAH RAKYAT?


Judul di atas kalau dibaca sekilas sepertinya sangat provokatif dan memancing emosi karena menggunakan kata-kata ”merampas” dan ”tanah rakyat”. Sesungguhnya bukan kapasitas penulis untuk membahas masalah sengketa lahan ini dari prespektif hukum. Harap mahfum, penulis ini cuma lulusan teknologi pertanian yang tidak punya dasar pengetahuan hukum yang mencukupi. Penulis hanya ingin berbagi pengalaman sepanjang beberapa tahun terakhir bergelut dengan dunia perkebunan, tentunya dari prespektif dari seorang asisten kebun yang tentu saja adalah ”orang perusahaan”.

Menurut pandangan penulis, urusan HGU (Hak Guna Usaha) lahan perkebunan adalah urusan antara perusahaan dengan pemerintah selaku pemberi kuasa pengeloaan lahan yang di HGU-kan tersebut. Pada dasarnya HGU adalah tanah negara atau biasa disebut tanah register dan tidak dimiliki perorangan. Masalah baru muncul ketika pada tanah yang di HGU-kan tersebut ada sebagain yang telah ditanami/diusahakan rakyat dimana pengelolannya terebut tidak dilengkapi dengan surat-surat tanah yang sah.

Lalu di mana letak kesalahannya? Pemda, perusahaan, masyarakat sekitar adalah stakeholder yang utama. Tentunya perlu ada kerjasama yang menguntungkan demi terciptanya iklim investasi yang baik, tentu saja juga berdampak sangat baik menggerakkan roda ekonomi warga sekitar.

Dari prespektif karyawan perusahaan perkebunan sendiri, sebenarnya munculnya masalah sengketa tanah tidak melulu salah dari pihak luar. Seringkali perusahaan perkebunan tidak tegas dari awal perihal penyerobotan lahan. Ketidaktegasan inilah yang memberikan kesempatan kepada pihak luar untuk mengusahakan lahan tersebut. Seringkali ketidak tegasan tersebut terkait kepedulian akan hal-hal kecil yang sebenarnya berpotensi menimbulkan konflik pada masa yang akan datang. Sebagai contoh kasus adalah banyaknya lebung-lebung kering (daerah rendahan, biasanya menampung air, tidak diusahakan pada perkebunan tebu) yang ditanami tanaman tahunan (karet atau sawit) oleh orang luar padahal lebung-lebung tersebut jelas masuk HGU perusahaan. Pengelola kebun dalam hal ini Rayon atau afdeling tidak mempunyai dokumen perjanjian pinjam lahan dengan orang luar yang ingin mengelola. Kalaupun ada, pengarsipan dokumen sangat tidak profesional. Apalagi di level pimpinan (sinder/sinka) sering berganti personel sehingga informasi dan dokumen sering tidak nyambung ke penerusnya apalagi terjadi sengketa di kemudian hari. Filosofinya adalah sejengkal tanah HGU tidak boleh dikelola orang luar, jika sangat terpaksa bisa saja dikelola orang luar dengan perjanjian di atas materai dengan ketentuan pokok sebagai berkut:

  1. Dokumen perjanjian peminjaman lahan dibuat di atas materei, di tandatangani oleh wakil perusahaan, warga yang akan mengusahakan dan unsur pemerintahan desa/kecamatan setempat.
  2. Hanya diperbolehkan menanam tanaman musiman(padi, nanas, singkong dll). Menanam tanaman tahunan (sawit, karet, jengkol) tidak diperbolehkan dengan alasan apapun.
  3. Bersedia menyerahkan lahan pinjaman tersebut kepada pihak perusahaan apabila dibutuhkan sewaktu-waktu tanpa ganti rugi sedikitpun (termasuk ganti rugi tanam tumbuh).
  4. Sebagai pendukung legalitas adanya peminjaman lahan maka pengelola lahan pinjaman tersebut harus memberikan bagi hasil atas hasil yang diperoleh dari pengusahaan lahan tersebut. Di mana besarnya nisbah ditentukan oleh perusahaan.

Tentu saja pemberlakuan aturan di atas harus didukung sepenuhnya dari manajemen dari kantor pusat. Seringkali kasus sengketa lahan, baik antisipasi mauapun penyelesaiannya diserahkan ke afdeling/rayon yang bersangkutan sehingga seolah-olah afdeling hanya menjadi keranjang sampah setiap masalah dan terjadi. Lebih parah lagi afdeling/rayon dibiarkan berjuang sendiri menyelesaikan masalahnya sendiri dengan tertatih-tatih. Pernahkan anda merasakan betapa beratnya mejadi sinder tanaman di daerah konflik? Sudah target produksi tidak tercapai, tenaga kerja kurang ditambah lagi mesti mengurusi demo masyarakat. Rasa was-was selalu menghantui, bahkan sering kucing-kucingan dengan masyarakat saat menggarap petak kebun. Sungguh memang bukan perkara mudah mengelola afdeling, ketika ingin menengakkan aturan, kalau tidak pandai-pandai melihat kondisi, kebun kita dibakar orang. Tapi penulis berkeyakinan setiap masalah pasti ada jalan keluar. Kebun aman, baru bisa berproduksi maksimal, tidak bisa di balik!




Minggu, 19 Juli 2009

MENGAPA KAMU TIDAK KERJA DI KOTA SAJA??


Maha Suci Alloh yang telah mengkaruniakan perjalanan hidup yang begitu indah, termasuk perjalanan menggapai pekerjaan dari satu tempat berpindah ke tempat lain. Tak pernah terlintas dalam pikiran penulis menjadi seseorang yang berkecimpung dunia perkebunan yang jauh dari hiruk pikuk dan gemerlap kehidupan kota. Meskipun penulis berlatar belakang teknologi pertanian, pada awalnya hanya berkeinginan cepat lulus, dapat kerja dekat rumah (tentunya di Jawa, malah di dekat tempat tinggal orangtua), menikah dengan akhwat sholehah pujaan hatinya dan punya anak yang sholeh sholeha sebagaimana layaknya lelaki muslim pada umumnya. Tapi sebagaimana diceritakan dalam sinetron dan ditulis dalam novel-novel, sungguh, kenyataan hidup tak selalu sesuai keinginan manusia yang lemah dan dhaif ini. Selepas lulus kuliah ternyata untuk menjadi PNS Pemda di tempat tinggal penulis bukanlah perkara mudah. Akhirnya beberapa waktu penulis sempat didera depresi akibat sindrom ”ngga dapat2 kerja setelah lulus kuliah”.

Seingat penulis sudah ada enampuluhan surat lamaran pekerjaan yang terkirim namun tak terbalas (mending kalau cinta tak terbalas, ini mah lebih menyakitkan...). Akhirnya melalui perenungan yang mendalam dari fakta betapa sulitnya lepas dari status ”pengangguran” maka penulis bertekad akan menerima pekerjaan apapun dan di manapun sepanjang posisi yang ditawarkan adalah level S-1. Tak peduli di Sumatera, Kalimantan atau Papua Sekalipun. Tak peduli di bidang pertanian dan bidang lain semisal perbankan atau marketing. Hingga suatu masa setelah sekian lama mencari, penulis diterima sebagai salesman produk rokok yang sangat terkenal di negeri ini. Namun hanya bertahan selama sebulan karena ternyata idelisme ”pekerjaan apapun akan kuterima” tidak konsisten melekat di relung hati penulis. Masih ada rasa ”saya ini khan sarjana, masa jualan rokok?” Ini khan kerjaan lulusan SMA”.

Bak kisah sinetron perjalanan hidup terus bergulir, selang dua bulan setelah keluar dari kerjaan pertama maka doa saya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, penulis diterima sebagai Plantation Officer (staff lapangan bagian tanaman) sebuah perkebunan tebu swasta di Lampung, produsen gula pasir branded yang iklannya sering menghiasi layar kaca. Namun seiring waktu, kebimbangan masih saja menghiasi hari hari penulis. Akhirnya sekali lagi, penulis berpindah ke perusahaan lain. Kali ini perusahaan plat merah dengan core bisnis yang hampir sama dengan perusahaan sebelumnya. Lagi-lagi mendapat penempatan di kebun tebu. Tentunya tidak sulit bagi penulis beradaptasi di perusahaan baru ini terlebih sesuai dengan pengalaman penulis. Demikian juga dengan lingkungan perkebunan yang sepi dan terpencil bukanlah masalah bagi penulis.

Setelah beberapa kali berpindah unit usaha dan berpindah wilayah kebun/rayon penulis bertemu dengan sinder senior yang juga rekan sesama sinder di rayon tempat penulis bekerja. Beliau menanyakan kepada saya” Bapak ini khan masih muda, apa sudah dipikir masak-masak kerja di sini?”. Saya pun menimpali seolah-olah tidak paham maksudnya. Ternyata senior saya tersebut ingin menasehati betapa konsekuensi kerja di perkebunan gula sangat berat. Beliau menginginkan agar junior-juniornya adalah orang-orang pilihan yang siap jiwa raga memajukan agroindustri indonesia. Adapun konsekuensi yang saya maksud antara lain:

  • Selama musim giling (biasanya April-Oktober), tidak diperbolehkan cuti dengan alasan apapun kecuali emergency yang ada hubungannya dengan batih (orangtua, istri,anak). Di luar itu, dipastikan sulit untuk cuti, meskipun ada acara hajatan keponakan, tetangga samping rumah sekalipun.
  • Hari minggu selama musim giling harus standby di kebun, kalaupun terpaksa cuti, dipastikan hati dan pikiran anda tidak tenang meninggalkan kebun. Telfon tidak akan pernah berhenti berdering.
  • Lokasi kebun biasanya terpencil dan jauh dari fasilitas umum. Anda harus siap dengan kehidupan apa adanya, bahkan dibeberapa lokasi sinyal telfon selular tidak akan anda dapati.
  • Lokasi perumahan biasanya di rayon tersebut sehingga anda akan merasa terkungkung di lokasi kerja selama 24 jam penuh. Anda sebagai pimpinan memegang tanggungjawab 24 jam penuh terhadap kebun sehingga secara ekstrim ”jarum jatuh di afdeling” yang anda pimpin anda tidak boleh tidak tahu. Anda akan tinggal bersama dengan beberapa sinder lain dan sinder kepala dalam satu kompleks (rumah bertetangga). Sehingga gerak-gerik sekecil apapun akan terpantau atasan anda.
  • Kebun tebu sangat mudah terbakar atau sengaja dibakar oleh orang yang tidak senang dengan anda, anak buah anda, pimpinan anda ataupun perusahaan tempat anda bergantung hidup tersebut. Di sinilah seni bagaimana mengamankan kebun. Anda harus pandai-pandai mempelajari sosio-kutural-ekonomi masyararakat sekitar kebun. Tidak mungkin anda memasang petugas jaga api disetiap petak kebun selama 24 jam. Pengaman kebun anda yang sesunguhnya adalah masyarakat sekitar afdeling anda.
  • Kesulitan berkumpul dengan keluarga, terutama apabila istri juga bekerja di tempat lain bahkan di propinsi lain. Terpaksa anda akan”membujangkan diri” di kebun, sedangkan istri terpaksa tinggal terpisah jauh dari anda.. Masalah semakin rumit manakala buah hati anda mulai memasuki jenjang pendidikan SMA ke atas. Kalau ingin kualitas pendidikan yang baik dapat dipastikan harus bersekolah di kota.

Nah, bagaimana Bung? Anda merasa ”ngeri”? Kalau anda merasa ngeri berarti menurut para paranormal yang sering beriklan di televisi, anda tidak cocok bekerja sebagai sinder tanaman/plantation officer/estate assistant/asisten tanaman. Bagi saya dan juga rekan-rekan yang komit dengan tugas (dalam hal ini saya meminjam istilah ”tugas negara” karena saya bekerja di BUMN), tentunya fakta-fakta yang saya sajikan di atas bukanlah halangan, justru merupakan tantangan bagi yang ingin maju. Masing-masing pekerjaan memiliki resiko dan imbal balik masing-masing. Tergantung kita memaknainya. Bukankah saya dan juga anda telah memilih jalan ini? Memilih menggantungkan hidup dari tanaman yang kita tanam dan kita rawat dengan sepenuh hati? Bukankah saya dan juga anda telah terlanjur mencintai jalan ini? Bukankah sebelum masuk ke dunia perkebunan kita telah mengetahui segala konsekuensi dan siap menganggung segala resiko?

Seorang Direktur Plantation Group Indutri Agro Swasta nasional pernah berujar kepada saya. Bekerja di mana pun sebenanarnya sama saja (dalam konteks ini lokasi kerja di kota vs di desa). Yang penting hati ikhlas dan yakin Tuhan telah memilihkan jalan yang terbaik bagi hambanya. Bagi yang kurang pandai bersykur, dengan bekerja di kebun yang jauh dari gemerlap kota akan membuat dada serasa sesak, merasa tidak nyaman, tidak ikhlas dan akhirnya stress dan menyerah. Tentu saja itu bukanlah sikap para ”pejuang” majunya Agroindustri Indonesia.


Apa yang saya utarakan di atas bukanlah untuk menggurui rekan-rekan. Penulis hanyalah orang baru dalam dunia perkebunan yang masih ”bau kencur”. Penulis sadar mempratekkan apa yang saya utarakan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Akhirnya, marilah kita sama-sama berjuang demi majunya agroindustri Indonesia. Kita wujudkan kemandirian dan kedaulatan agroindustri Indonesia. Viva agroindustri Indonesia!!


Sabtu, 09 Mei 2009

TEKNIK OPERASIONAL POST EMERGENCE DI LAPANGAN

Setelah pada artikel sebelumnya kita telah menghitung kebutuhan tenaga penyemprot, maka tiba saatnya kita praktek di lapangan. Nah pertanyaan pertama, apa saja peralatan yang dibutuhkan?
  • Knapsack sprayer lengkap dengan stick-nya.
  • Cadangan knapsack, stick dan nozzle
  • Drum sebanyak tenaga semprot pada masing-masing kontraktor, minimal ¾ jumlah orang. Sehingga kalau jumlah orangnya 15 per kontraktor maka jumlah drum minimal 11 buah per kontraktor.
  • Adukan obat di drum, biasanya terbuat dari gagang kayu gelam
  • Ember untuk mencampur herbisida
  • Literan untuk menakar dosis herbisida
  • Gembes/ember untuk memindahkan cairan herbisida dari drum ke knapsack
  • Peralatan keselamatan pribadi pelaksana penyemprotan (sarung tangan, topeng monyet, kacamata, sepatu boot dll).

Selanjutnya unit apa saja yang diperlukan?

  • Traktor

Traktor digunakan sebagai unit penarik tangki air dan trailer. Apabila memungkinkan, pada saat musim penghujan traktor penarik tangki air diusahakan double gardan/4WD. Karena akan sering melewati perimeter yang kondisinya licin dan berlumpur.

  • Trailer

Trailer dipergunakan untuk mengangkut tenaga spraying berikut herbisida, drum dan knapsacknya serta untuk pindahan petak/ancakan. Satu trailer sebaiknya melayani 2 kontraktor (30-an orang) dengan ancakan yang saling berdekatan.

  • Tangki air/WT (water tank)

Sesuaikan ukuran tangki air dengan jumlah penyemprot per kontraktor. Tangki air 3000 liter (isi 15 drum) cukup untuk satu kontraktor. Sedangkan tangki air 5000 liter (25 drum) bisa melayani dua kontraktor yang ancakannya saling berdekaan. Tangki air bukan alat angkut tenaga, karenananya tenaga semprot dilarang keras naik di atas tangki, sangat berbahaya!

Adapun pembagian ancakan per kontraktor disesuaikan dengan jumlah tenaganya (biasanya 15-20 ha) agar tidak terjadi field balance spraying, yaitu petak yang sudah dibonkan herbisida pada hari itu, tetapi tidak selesai hari itu. Sehingga terdapat sisa herbisida yang tidak selesai teraplikasi. Hal ini berbahaya dan sumber penyelewengan herbisida. Ingat herbisida ibarat emas karena harganya cukup mahal!

Usahakan ketersediaan air bukan menjadi halangan efektivitas kerja, artinya begitu tenaga datang ke petak yang akan disemprot harus sudah tersedia air di drum. Karena biasanya tangki air membutuhkan waktu untuk mengisi air, sementara tenaga sudah datang duluan. Caraya dengan dropping air sore hari sebelumnya sebanyak minimal 30%. kebutuhan Sehingga kalau jumlah orang 15, maka setiap sore pada petak yang akan disemprot esok hari, maka harus di drop air sebanyak 5 drum.

Lalu bagaimana cara mencampur obat? Mencampur obat hanya boleh dilakukan oleh mandor karyawan atau kepala kontraktor tersebut yang diawasi mandor karyawan. Siapkan ember kecil, takar herbisida sesuai dosis, masukkan ke ember tersebut kemudian campur dengan sedikit air dan adu-aduk. Selanjutnya baru dituang ke dalam drum dan aduk hingga rata.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana meng-ancak-kan (mengatur tenaga memasuki petak) tenaga semprot ? Anggap kita akan menyemprot petak normal 8 ha (400x200m), di mana panjang juringan adalah 200 meter (normal). Siapkan tanda dari daun tebu untuk menandai bahwa juringan telah dimasuki. Ancakkan tenaga dari perimeter (juringan terpendek). Setiap satu orang membawa 2 juringan, biasanya arah balikan/putaran adalah ke kiri atau sesuai kondisi. Setiap satu knapsack cukup untuk 2 juring, sehingga satu kali balikan knapsack diisi lagi. Satu drum isi 200 liter cukup untuk 12-14 knapsack, sehingga tempatkan satu drum per 12 -14 juring. Untuk jelasnya bisa dilihat pada gambar berikut :

Pengawas spraying harus mengawal kotraktor dari persiapan kerja, pelaksanaan hingga kembali ke divisi. Terutama dalam hal pengamanan obat dan knapscak beserta sticknya. Pada saat pelaksanaan di lapangan mandor harus masuk ke petakan, tidak boleh berada di pinggir petak. Beberapa kecurangan dan kesalahan kontraktor yang harus diwaspadai :
  • Mengurangi atau menambah takaran herbisida tanapa seijin mandor karyawan.
  • Menyembunyikan herbisida untuk selanjutnya dijual ke pihak luar.
  • Menyemprot hanya pinggiran saja sementara sampai di tengah petak, adukan herbisida dibuang.
  • Jalan terlalu cepat pada saat ditengah petak, agar memperoleh hektaran maksimal, sedangkan kualitas semprotan tidak dapat dipertanggingjawabkan.
  • Penyemprotan terlalu tinggi,sehingga tidak effektif
  • Sengaja menyemprot tanaman tebu, bukan gulma.
  • Kurang memperhatikan kondisi tebu/umur tebu, padahal obat yang dipakai paraquat. Sehingga banyak tebu daunnya terbakar karena terkena paraquat.
  • Kurang memperhatikan jenis/varietas tebu. Ada varietas yang kurang tahan aplikasi herbisida(terutama ametryn), sehingga pelaksanaannya harus pelan-pelan dan menggunakan cungkup.
  • Tidak/telat dropping air ke areal.
  • Memasukkan adukan herbisida ke knpasack dengan serampangan sehingga banyak yang tumpah.
  • Menyeret stick kanapsack (dapat merusak nozzle).
  • Membuang sisa adukan herbisida ke juringan (dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan tebu pada juringan tersebut).
  • Menyemprot grass waterways pada petak-petak pinggir main road/second road.
  • Dengan sengaja melubangi nozzle (khusus tenaga harian) agar jatah semprotannya cepat habis.
  • Bekerja sama dengan mandor karyawan untuk mengajukan claim spraying fiktif (petak diajukan claim telah dispraying padahal hanya disemprot pinggiran).

Rabu, 01 April 2009

MERENCANAKAN KEBUTUHAN TENAGA PENYEMPROT PADA APLIKASI POST EMERGENCE PADA BUDIDAYA TANAMAN TEBU

Karakteristik tanaman tebu yang merupakan tanaman semusim memerlukan perlakuan pengendalian gulma yang khusus. Keterlambatan penanganan gulma berakibat fatal, polulasi turun, pertumbuhan kerdil sehingga berpotensi menurunkan TCH dan TSH. Pada artikel ini penulis yang masih rendah jam terbangnya di dunia perkebunan tebu mencoba mengajak berhitung sederhana untuk merencanakan kebutuhan tenaga penyemprot. Pada pembahasa kali ini asumsi sistem tanam adalah double row, jarak tanam (PKP) 1,85 m sehingga dalam 1 ha terdapat 10.000/1,85=5.405 meter juring besar atau 10.810 meter juring kecil.
Sebagai perkenalan, pada budidaya tanaman tebu dilakukan dua jenis aplikasi herbisida:

1. Pre emergence
Pre emergence adalah aplikasi herbisida pra tumbuh, biasanya menggunakan diuron+24D. Bisa dilakukan secara mekanis menggunakan boom sprayer atau manual menggunakan knapsack. Pembahasan mengenai Pre Emergence akan penulis bahas pada artikel tersendiri.
2. Post mergence
Post emergence adalah aplikasi herbisida purna tumbuh, biasanya menggunakan paraquat, 24D atau glyfosat tergantung kondisi gulma dilapangan. Post emergence dilakukan secara manual menggunakan knapsack sprayer. Post emergence dilakukan 2 kali aplikasi (kondisi normal). Yaitu post I umur 2-3 bulan dan post II umur 4-5 bulan. Umur aplikasi bisa fleksibel tergantung kondisi gulma, yang harus diingat pada saat aplikasi umur harus cukup dan tebu diperkirakan sudah tahan terhadap pengaruh herbisida.

Nah sekarang yang menjadi pertanyaan selanjutnya. Bagaimana merencanakan kebutuhan tenaga penyemprot? Baiklah, kapasitas 1 manday adalah 0,8-1 ha. Ini adalah angka lapangan yang diperoleh berdasarkan pengalaman penulis, dengan waktu kerja efektif dari jam 4-5 jam. Misalnya anda seorang officer maintenance manual dengan luas wilayah kerja 2500. Anggap saja mill cane (tebu giling) anda 2000 ha dan sisanya adalah tebu bibit. Luasan 2000 ha direncanakan ditebang selama 5 bulan (Biasanya mulai Mei-Oktober), sehingga rata-rata tebangan per bulan adalah 400 ha. Luasan inilah nantinya yang akan menjadi ratoon cane (RC) dan sebagian dibongkar menjadi RPC (replanting cane) yang harus diaplikasi herbisida. Direncanakan aplikasi post emergence 100% luasan dan dilakukan dua kali. Interval waktu antara post I da post II direncanakan 1,5 bulan. Sehingga setiap 3 bulan anda harus mencapai target :
· Post I=3x400=1200 ha
· Post II=(3x400)/2=600 ha
Jadi total luasan selama tiga bualan adalah 1800 ha. Perkirakan waktu efektif selama 3 bulan adalah =3x20=60 hari. Sehingga target per hari adalah 1800/60=30 ha/hari. Dengan kemampuan 1 orang adalah 0,8 ha/hari. Maka anda butuh tenaga penyemprot 30/0,8=38 orang. Untuk safety tambahkan 10% sehingga menjadi 42 orang/hari. Dengan asumsi satu kontraktor spraying beranggotakan 15 orang, maka anda butuh minimal 3 kontraktor. Mudah bukan?
Tapi tunggu dulu, ini adalah perhitungan kasar. Untuk detailnya anda harus benar-benar mengikuti rencana tebang (sebagai dasar penentuan berapa luasan yang akan dijadikan ratoon dan berapa yang akan dibongkar?), berapa target tebangan dan tanam pada masing-masing bulan. Sehingga anda tahu kondisi puncak terjadi pada bulan apa. Satu lagi yang harus diingat post emergence sangat tergantung cuaca, kondisi hujan sangat tidak efektif untuk aplikasi herbisida. Perhitungkan hari hujan per bulan berdasarkan trend rata-rata hari hujan 5 tahun terakhir. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah waktu yang terbuang untuk service serta perbaikan kerusakan traktor, tangki air dan trailer angkutan tenaga serta faktor kelancaran pasokan herbisida di warehouse (gudang). Nah tugas anda adalah mem-breakdown rencana post emergence per bulan dengan memperhatikan rencana tebang, rencana tanam, dan hari efektif kerja. Kalau perlu anda breakdown lagi per 2 minggu. Setelah perhitungan di atas kertas selesai, bersegeralah berkoordinasi dengan supervisor dan mandor spraying anda untuk merekrut tenaga penyemprot.
Catatan kaki:
· Officer=sinder=asisten kebun
· Supervisor=mandor besar=mandor kepala

Minggu, 08 Februari 2009

Struktur Organisasi Perusahaan Perkebunan Tebu Swasta (Employee Hierarchy in Cane Plantation Corporate)


Industri perkebunan tebu (cane plantation) mempunyai karakteristik yang berbeda apabila dibandingkan dengan industri di bidang lain misalnya manufaktur, perbankan & finance dan lain-lain. Perbedaan itu jelas terlihat pada budaya kerja yang cenderung keras (mengingat perkebunan adalah industri padat karya dengan tenaga kerjanya sebagian besar adalah orang-orang yang berpendidikan menengah-rendah) dan juga hiraraki dan hubungan kerja yang jelas antara atasan dan bawahan. Semoga informasi yang saya sajikan ini berguna bagi para pekerja baru (new comer) di dunia perkebunan tebu, para mahasiswa yang akan melaksanakan praktek lapang (PL) di perkekebunan tebu, para akademisi dan semua pengunjung blog saya ini yang ingin menggali informasi mengenai dunia perkebunan tebu. Gambar struktur organisasi disamping atas dapat anda klik untuk dibuka pada jendela baru sehingga anda bisa lebih jelas membaca struktur organisasinya.


Pekerja di perkebunan tebu swasta pada dasarnya terbagi atas 2 golongan yaitu

  1. Pekerja tetap perusahaan (terdiri dari karyawan staff dan karyawan nonstaff)

  2. Pekerja harian lepas (para pekerja dikontrak 1-2 bulan, jumlahnya akan meningkat selama musim giling/on season dan berkurang setelah musim giling/off season.

Adapun di level karyawan tetap yang dimaksud karyawan staff adalah karyawan level pimpinan dari mulai pimpinan seksi sampai dengan tingkatan manajer. Mereka biasa di sebut sebagai officer, berseragam putih abu abu-abu merupakan bagian dari manajemen. Tingkatan officer misalnya officer LP Planting, Officer Irigasi, Officer machinary maintenance, officer manual maintenance, officer alat berat. Adapun seorang manajer divisi (satu divisi membawahi areal kebun sekitar 5000 ha) biasanya dibantu oleh seorang assistant manajer. Ini adalah jabatan setingkat lebih tinggi dari officer biasa.



Pada jajaran karyawan non staff terdiri atas beberapa tingkatan. Tingkatan paling tinggi adalah supervisor atau setingkat penyelia. Supervisor adalah bawahan langsung officer yang bertugas sebagai koordinator lapangan di masing-masing seksi yang dikepalai oleh officer. Satu officer biasanya memiliki seorang supervisor, tetapi apabila ruang lingkup kerja sangat luas maka jumlah supervisor pada suatu seksi bisa dua orang. Misalnya seksi manual maintenance memiliki dua supervisor yaitu supervisor manual maintenance (khusus weeding, klentek, hama penyakit) dan seorang supervisor chemical weed control (khusus menangani spraying herbisida). Seorang supervisor adalah tangan kanan officer dan bertanggug jawab penuh terhadap operasional pekerjaan di kebun. Supervisor mengenakan seragam biru langit. Adapun tingkatan di bawah supervisor adalah conductor. Seorang conductor membawahi 2-3 mandor, pekerjannya bersifat pengawasan dan koordinasi beberapa mandor yang bekerja pada beberapa lokasi kebun. Sedangkan mandor bertugas mengawasi dan mengarahkan pekerjaan tenaga pelaksana (tenaga harian lepas) selama jam kerja dan tidak diperkenankan meninggalkan anak buah.





Senin, 26 Januari 2009

Apakah sesungguhya hakikat Produktivitas?

Seringkali kita mendengar istilah produktivitas dan sering kali pula orang mengartikannya secara linear. Dalam tataran korporat dan institusi bisnis istilah ini bukanlah sesuatu yang asing, justru merupakan goal yang akan dijadikan budaya kerja agar perusahaan bisa beroperasi dengan sehat, efisien dan efektif. Pada suatu kesempatan penulis pernah berbincang dengan salah seorang pejabat tingkat menengah suatu perusahaan agribisnis, beliau melihat produktivitas dari sisi yang berbeda.


Produktivitas sering hanya diartikan sebagai hasil atau output per satuan unit. Sebagai contoh dalam bidang perkebunan kita sering mendengar istilah produktivitas ton/ ha, rupiah/kg, ha/orang, juring/orang, tandan/pemanen dsb. Hal ini tidaklah salah, bahkan sangat benar secara harfiah. Tetapi secara filosofis kita harus berpifikir lebih lanjut dan mengaitkan produktivitas dengan hukum sebab akibat. Apakah penyebab naiknya produktivitas? Kita ambil contoh produktivitas lahan yang ditanami tebu yang dinyatakan sebagai TSH (ton sugar/ha). Apakah penyebannya naiknya TSH? apakah persiapan LP (land preparation) yang baik, kinerja planting(tanam) yang baik, irigasi yang baik, manual dan machinary maintenance yang baik, harvesting yang baik? cane transporting yang kontinyu dan tepat waktu, processing di factory yang baik dan benar?


Faktor-faktor di atas tidaklah salah, bahkan sangat benar sebagai faktor-faktor penyebab naiknya produktivitas. Tetapi sebagai unsur pimpinan kita harus melihat lebih jauh ke depan. Sesungguhnya produktivitas ada di pikiran kita. Ketika kita produktivitas ada di otak kita dan kita berpikir bisa, maka akan bisalah kita. Sebaliknya apabila pikiran kita sudah terbelenggu pikiran tidak bisa, maka kita akan terpenjara dalam pikiran buruk dan akhirnya mati langkah dan menyerah. Bagaimana kita bisa mencapai TSH (ton sugar per ha) 10 ton gula/ha, sementara posisi sekarang saja di tingkat perkebunan tebu negara masih bertengger di posisi 4-5 ton ton gula/ha. Apabila kita yakin bisa, 10 ton gula/ha bukanlah keniscayaan. Ketika pikiran kita mengatakan bisa, maka otak kita akan berproses mencari jalan untuk mencapai tujuan yang kita yakini sehingga kreativitas akan muncul melahirkan ide-ide cemerlang. Dari sinilah kita akan melangkah. Pasti bisa!

Minggu, 18 Januari 2009

Industri Perkebunan Indonesia, bersaing di tengah krisis

Adalah menjadi isu yang sedang hangat diperbincangkan para ahli, krisis global yang telah berlangsung pasca lebaran 2008 dan hingga sekarang belum menunjukka tanda-tanda untuk mereda. Semua bidang usaha terkena dampaknya tak terkecuali bidang agroindustri dan turunannya. Sebagai seorang yang mengandalkan hidup dari sektor ini ijinkan saya berpendapat dan mengeluarkan uneg2. Mohon dikoreksi kalau apa yang saya tulis ini ada kesalahan.
Perkebunan Kelapa sawit yang selama ini berjaya karena tingginya harga CPO, bahkan beberapa bulan sebelum krisis harga CPO sempat meroket, kini tak kuasa menerima kenyataan jatuh bebasnya harga CPO hingga 30% dari harga normal. Tak ayal gelombang PHK menjadi momok bagi para karyawan Perkebunan Kelapa Sawit. Di tingkat petani pun tidak lebih baik kondisinya, mereka harus puas menerima harga jual TBS (tandan buah segar) yang hanya Rp 400/kg dari semula mencapai Rp1500-1800/kg. Hal ini ditengarai karena Indonesia terlalu fokus ke industri hulu, sedangkan industri hilir kurang dikembangkan. Sehingga terjadi oversupply CPO di pasaran internasional sedangkan industri dalam negeri hanya mampu menyerap kurang leboh 30% produksi CPO. Sehingga apabila terjadi krisis di luar negeri harga jual CPO mudah sekali jatuh. Tampaknya Indosnesia harus belajar dari Malaysia yang mempersiapkan perkebunan kelapa sawit dan industri turunannya sebagai satu paket sehingga mempunyai kekuatan mengontrol supply dan harga yang jauh lebih kuat di pasaran internasional. Sementara masuknya investasi perkebunan malaysia di indonesia tak lebih sebagai suatu cara sistematis untuk menjadikan Indonesia hanya sebagai pemasok bahan mentah CPO, sementara industri turunannya di persiapkan di singapura, malaysia dan China.
Adapun perkebunan Karet baik Korporat maupun rakyat tidak lebih baik kondisinya. Harga Lateks dan bokar (bahan olah karet) turun drastis di tingkat petani dan di level industri pengolahan karet (SIR,RSS) banyak rekanan dari Amerika dan Eropa yang membatalkan kontrak. Apalagi industri otomotif dunia yang merupakan salah satu konsumen terbesar dari ekspor olahan karet indonesia sedang mengalami gonjang-ganjing akibat terpaan badai.
Dengan keadaan yang demikian tentunya kita masyarakat Indonesia terutama yang terlibat langsung dengan industri perkebunan sangat berharap agar krisis ini segera berakhir. Sebagai orang yang menggantungkan hidup sebagai pekerja perkebunan saya mengajak kepada semua rekan untuk mengencangkan ikat pinggang, baik level pimpinan maupun pelaksana. Karena perusahaan tempat bernaung masing-masing sedang mengalami kesulitan keuangan akibat jatuhnya harga jual dan naiknya biaya produksi walaupun saat ini harga BBM sudah turun.
Adapun pada industri gula, tampaknya krisis global tidak terlalu berpengaruh mengingat pangsa pasar industri gula adalah pasar dalam negeri sehingga harga jual tidak jatuh. Tetapi harus diingat krisis global bagaikan efek domino, dia akan terus memunculkan akibat di semua sektor. Harga produksi akan terus naik sementara daya beli masyarakat dan industri akan menurun. Masyarakat dan Industri akan sangat berhati-hati membelanjakan uangnya sehingga pergerakan roda ekonomi akan sangat lesu pada tahun ini.
Namun apapun yang terjadi kita harus tetap optimis. Industri Perkebunan Indonesia akan tetap exist di tengah badai. Bagaikan karang yang tak bergeming meski diterpa ombak dan badai. Jayalah Agroindustri Indonesia!!