Minggu, 19 Juli 2009

MENGAPA KAMU TIDAK KERJA DI KOTA SAJA??


Maha Suci Alloh yang telah mengkaruniakan perjalanan hidup yang begitu indah, termasuk perjalanan menggapai pekerjaan dari satu tempat berpindah ke tempat lain. Tak pernah terlintas dalam pikiran penulis menjadi seseorang yang berkecimpung dunia perkebunan yang jauh dari hiruk pikuk dan gemerlap kehidupan kota. Meskipun penulis berlatar belakang teknologi pertanian, pada awalnya hanya berkeinginan cepat lulus, dapat kerja dekat rumah (tentunya di Jawa, malah di dekat tempat tinggal orangtua), menikah dengan akhwat sholehah pujaan hatinya dan punya anak yang sholeh sholeha sebagaimana layaknya lelaki muslim pada umumnya. Tapi sebagaimana diceritakan dalam sinetron dan ditulis dalam novel-novel, sungguh, kenyataan hidup tak selalu sesuai keinginan manusia yang lemah dan dhaif ini. Selepas lulus kuliah ternyata untuk menjadi PNS Pemda di tempat tinggal penulis bukanlah perkara mudah. Akhirnya beberapa waktu penulis sempat didera depresi akibat sindrom ”ngga dapat2 kerja setelah lulus kuliah”.

Seingat penulis sudah ada enampuluhan surat lamaran pekerjaan yang terkirim namun tak terbalas (mending kalau cinta tak terbalas, ini mah lebih menyakitkan...). Akhirnya melalui perenungan yang mendalam dari fakta betapa sulitnya lepas dari status ”pengangguran” maka penulis bertekad akan menerima pekerjaan apapun dan di manapun sepanjang posisi yang ditawarkan adalah level S-1. Tak peduli di Sumatera, Kalimantan atau Papua Sekalipun. Tak peduli di bidang pertanian dan bidang lain semisal perbankan atau marketing. Hingga suatu masa setelah sekian lama mencari, penulis diterima sebagai salesman produk rokok yang sangat terkenal di negeri ini. Namun hanya bertahan selama sebulan karena ternyata idelisme ”pekerjaan apapun akan kuterima” tidak konsisten melekat di relung hati penulis. Masih ada rasa ”saya ini khan sarjana, masa jualan rokok?” Ini khan kerjaan lulusan SMA”.

Bak kisah sinetron perjalanan hidup terus bergulir, selang dua bulan setelah keluar dari kerjaan pertama maka doa saya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, penulis diterima sebagai Plantation Officer (staff lapangan bagian tanaman) sebuah perkebunan tebu swasta di Lampung, produsen gula pasir branded yang iklannya sering menghiasi layar kaca. Namun seiring waktu, kebimbangan masih saja menghiasi hari hari penulis. Akhirnya sekali lagi, penulis berpindah ke perusahaan lain. Kali ini perusahaan plat merah dengan core bisnis yang hampir sama dengan perusahaan sebelumnya. Lagi-lagi mendapat penempatan di kebun tebu. Tentunya tidak sulit bagi penulis beradaptasi di perusahaan baru ini terlebih sesuai dengan pengalaman penulis. Demikian juga dengan lingkungan perkebunan yang sepi dan terpencil bukanlah masalah bagi penulis.

Setelah beberapa kali berpindah unit usaha dan berpindah wilayah kebun/rayon penulis bertemu dengan sinder senior yang juga rekan sesama sinder di rayon tempat penulis bekerja. Beliau menanyakan kepada saya” Bapak ini khan masih muda, apa sudah dipikir masak-masak kerja di sini?”. Saya pun menimpali seolah-olah tidak paham maksudnya. Ternyata senior saya tersebut ingin menasehati betapa konsekuensi kerja di perkebunan gula sangat berat. Beliau menginginkan agar junior-juniornya adalah orang-orang pilihan yang siap jiwa raga memajukan agroindustri indonesia. Adapun konsekuensi yang saya maksud antara lain:

  • Selama musim giling (biasanya April-Oktober), tidak diperbolehkan cuti dengan alasan apapun kecuali emergency yang ada hubungannya dengan batih (orangtua, istri,anak). Di luar itu, dipastikan sulit untuk cuti, meskipun ada acara hajatan keponakan, tetangga samping rumah sekalipun.
  • Hari minggu selama musim giling harus standby di kebun, kalaupun terpaksa cuti, dipastikan hati dan pikiran anda tidak tenang meninggalkan kebun. Telfon tidak akan pernah berhenti berdering.
  • Lokasi kebun biasanya terpencil dan jauh dari fasilitas umum. Anda harus siap dengan kehidupan apa adanya, bahkan dibeberapa lokasi sinyal telfon selular tidak akan anda dapati.
  • Lokasi perumahan biasanya di rayon tersebut sehingga anda akan merasa terkungkung di lokasi kerja selama 24 jam penuh. Anda sebagai pimpinan memegang tanggungjawab 24 jam penuh terhadap kebun sehingga secara ekstrim ”jarum jatuh di afdeling” yang anda pimpin anda tidak boleh tidak tahu. Anda akan tinggal bersama dengan beberapa sinder lain dan sinder kepala dalam satu kompleks (rumah bertetangga). Sehingga gerak-gerik sekecil apapun akan terpantau atasan anda.
  • Kebun tebu sangat mudah terbakar atau sengaja dibakar oleh orang yang tidak senang dengan anda, anak buah anda, pimpinan anda ataupun perusahaan tempat anda bergantung hidup tersebut. Di sinilah seni bagaimana mengamankan kebun. Anda harus pandai-pandai mempelajari sosio-kutural-ekonomi masyararakat sekitar kebun. Tidak mungkin anda memasang petugas jaga api disetiap petak kebun selama 24 jam. Pengaman kebun anda yang sesunguhnya adalah masyarakat sekitar afdeling anda.
  • Kesulitan berkumpul dengan keluarga, terutama apabila istri juga bekerja di tempat lain bahkan di propinsi lain. Terpaksa anda akan”membujangkan diri” di kebun, sedangkan istri terpaksa tinggal terpisah jauh dari anda.. Masalah semakin rumit manakala buah hati anda mulai memasuki jenjang pendidikan SMA ke atas. Kalau ingin kualitas pendidikan yang baik dapat dipastikan harus bersekolah di kota.

Nah, bagaimana Bung? Anda merasa ”ngeri”? Kalau anda merasa ngeri berarti menurut para paranormal yang sering beriklan di televisi, anda tidak cocok bekerja sebagai sinder tanaman/plantation officer/estate assistant/asisten tanaman. Bagi saya dan juga rekan-rekan yang komit dengan tugas (dalam hal ini saya meminjam istilah ”tugas negara” karena saya bekerja di BUMN), tentunya fakta-fakta yang saya sajikan di atas bukanlah halangan, justru merupakan tantangan bagi yang ingin maju. Masing-masing pekerjaan memiliki resiko dan imbal balik masing-masing. Tergantung kita memaknainya. Bukankah saya dan juga anda telah memilih jalan ini? Memilih menggantungkan hidup dari tanaman yang kita tanam dan kita rawat dengan sepenuh hati? Bukankah saya dan juga anda telah terlanjur mencintai jalan ini? Bukankah sebelum masuk ke dunia perkebunan kita telah mengetahui segala konsekuensi dan siap menganggung segala resiko?

Seorang Direktur Plantation Group Indutri Agro Swasta nasional pernah berujar kepada saya. Bekerja di mana pun sebenanarnya sama saja (dalam konteks ini lokasi kerja di kota vs di desa). Yang penting hati ikhlas dan yakin Tuhan telah memilihkan jalan yang terbaik bagi hambanya. Bagi yang kurang pandai bersykur, dengan bekerja di kebun yang jauh dari gemerlap kota akan membuat dada serasa sesak, merasa tidak nyaman, tidak ikhlas dan akhirnya stress dan menyerah. Tentu saja itu bukanlah sikap para ”pejuang” majunya Agroindustri Indonesia.


Apa yang saya utarakan di atas bukanlah untuk menggurui rekan-rekan. Penulis hanyalah orang baru dalam dunia perkebunan yang masih ”bau kencur”. Penulis sadar mempratekkan apa yang saya utarakan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Akhirnya, marilah kita sama-sama berjuang demi majunya agroindustri Indonesia. Kita wujudkan kemandirian dan kedaulatan agroindustri Indonesia. Viva agroindustri Indonesia!!