Senin, 19 Oktober 2009

MENGENAL ISTILAH STOC (STANDING OVER CANE) ATAU CARRY OVER CANE


STOC merupakan istilah bagi kebun tebu yang tidak tertebang pada satu musim giling kemudian dibiarkan (baik dirawat atau tidak) kemudian ditebang dan giling pada awal musim giling selanjutnya. Mengapa sampai ada kebun-kebun yang tidak tertebang? Banyak faktor penyebab munculnya petak-petak STOC antara lain:

  1. Jumlah penebang kurang sehingga tidak memenuhi pasok tebu, akibatnya jadwal tebang molor sehingga terjadi petak-petak tidak tertebang.
  2. Tebangan belum juga selesai memasuki musim penghujan, sehingga petak-petak yang akses tranportasinya sulit tidak bisa diambil produksinya.
  3. Kondisi jalan, timbunan dan jembatan tidak memungkinkan untuk mengambil produksi pada petak-petak yang bersangkutan.
  4. Kapasitas pabrik tidak sesuai dengan jumlah tebu di lahan.

Apapun alasannya, sejatinya STOC adalah sebuah kerugian besar bagi perusahaan karena perencanaan dan eksekusi perkerjaan yang tidak proper. Sangat dihindari adanya STOC, apalagi STOC yang sampai berulang menunjukkan kinerja manajemen yang sangat-sangat buruk. Walaupun dapat digiling di tahun selanjutnya potensi protas/ha dan rendemen akan jauh turun dan adanya tambahan biaya perawatan mengakibatkan biaya produksi tidak sesuai dengan hasil gula yang dihasilkan.

Namun demikian, untuk memperkecil potensi kerugian (cut loss) ada beberapa opsi yang bisa dipakai yaitu opsi ditebang pada giling tahun berikutnya atau opsi tebang buang baik untuk dijadikan ratoon maupun PC KTG setelahnya. 

Perlakuan STOC yang direncanakan tidak ditebang di tahun giling setelahnya, tergantung kondisi kebun yang bersangkutan. Apabila kondisinya masih layak di-ratoon-kan maka penyelesainnya dengan cara tebang buang trash lining, yaitu tebu ditebang kemudian ditumpuk memanjang pada juringan dengan sistem 2:2 yaitu setiap 2 juring bersih, 2 juring selajutnya tempat untuk menumpuk tebu yang ditebang tadi. Opsi selajutnya kalau petak tersebut mau dibongkar menjadi PC bagaimana penanganan pengolahan tanahnya, padahal kondisi tebu masih tegak (tidak tertebang). Ada dua cara:

1. Tebu dirobohkan menggunakan implement Plougharrow(giant harrow) 32 inch kemudian di harrow dua kali lagi menggunakan plough harrow, garu sekali lagi menggunakan finishing harow 28 inch baru di kair. Traktor penarik pada saat merobohkan tebu adalah traktor 4WD 300 HP.

2. Tebu terlebih dahulu dirobohkan menggunakan implement towner harrow yang ditarik menggunakan bulldozer. Urutan pekerjaan selanjutnya adalah garu I menggunakan plough harrow, garu II mengunakan finishing harrow baru kemudian di kair. Cara seperti ini sangat meringankan beban kerja ploughharrow karena tidak langsung merobohkan tebu berdiri melainkan mencacah tebu yang sudah dirobohkan oleh bulldozer.

Pekerjaan merobohkan tebu menggunakan bulldozer dengan implement harrow towner dapat dilakukan dengan cara bulldozer langsung memasuki petak di mana petak tersebut (tebu hijau). Dengan cara ini kebutuhan HM per hektar agak tinggi sekitar 3 HM/hektar. Tebu-tebu yang dirobohkan mudah terpotong-potong oleh harrow towner sehingga memudahkan pengolahan tanah lanjutan. Satu hal yang diharus diwaspadai agar operator ekstra hati-hati karena unit bekerja ditengah petak kebun yang didalamnya banyak serasah daun tebu/daduk mudah sekali terbakar akibat panas enjin ataupun terik matahari. Dengan panduan HM tersebut, maka akan sangat mudah menghitung kebutuhan HM bulldozer untuk merobohkan petak STOC. 

*)HM=hourmachine=jam kerja unit.

Jumat, 09 Oktober 2009

SENGKETA LAHAN PERKEBUNAN: PERUSAHAAN PERKEBUNAN MERAMPAS TANAH RAKYAT?


Judul di atas kalau dibaca sekilas sepertinya sangat provokatif dan memancing emosi karena menggunakan kata-kata ”merampas” dan ”tanah rakyat”. Sesungguhnya bukan kapasitas penulis untuk membahas masalah sengketa lahan ini dari prespektif hukum. Harap mahfum, penulis ini cuma lulusan teknologi pertanian yang tidak punya dasar pengetahuan hukum yang mencukupi. Penulis hanya ingin berbagi pengalaman sepanjang beberapa tahun terakhir bergelut dengan dunia perkebunan, tentunya dari prespektif dari seorang asisten kebun yang tentu saja adalah ”orang perusahaan”.

Menurut pandangan penulis, urusan HGU (Hak Guna Usaha) lahan perkebunan adalah urusan antara perusahaan dengan pemerintah selaku pemberi kuasa pengeloaan lahan yang di HGU-kan tersebut. Pada dasarnya HGU adalah tanah negara dan tidak dimiliki perorangan yang diberikan ijin pengelolaan ke suatu badan hukum perusahaan dengan jangka waktu tertentu. Tentu saja penerbitan maupun perpanjangan HGU harus melalui serangkaian tahapan sesuai mekanisme dan ketentuan perundaangan. Masalah baru muncul ketika pada tanah yang di HGU-kan tersebut ada sebagain yang telah ditanami/diusahakan rakyat dimana pengelolannya terebut tidak dilengkapi dengan surat-surat tanah yang sah.

Lalu di mana letak kesalahannya? Pemda, perusahaan, masyarakat sekitar adalah stakeholder yang utama. Tentunya perlu ada kerjasama yang menguntungkan demi terciptanya iklim investasi yang baik, tentu saja juga berdampak sangat baik menggerakkan roda ekonomi warga sekitar.

Dari prespektif karyawan perusahaan perkebunan sendiri, sebenarnya munculnya masalah sengketa tanah tidak melulu salah dari pihak luar. Seringkali perusahaan perkebunan tidak tegas dari awal perihal penyerobotan lahan. Ketidaktegasan inilah yang memberikan kesempatan kepada pihak luar untuk mengusahakan lahan tersebut. Seringkali ketidak tegasan tersebut terkait kepedulian akan hal-hal kecil yang sebenarnya berpotensi menimbulkan konflik pada masa yang akan datang. Sebagai contoh kasus adalah banyaknya lebung-lebung kering (daerah rendahan, biasanya menampung air, tidak diusahakan pada perkebunan tebu) yang ditanami tanaman tahunan (karet atau sawit) oleh orang luar padahal lebung-lebung tersebut jelas masuk HGU. 

Pernahkan anda merasakan betapa beratnya mejadi sinder tanaman di daerah konflik? Sudah target produksi tidak tercapai, tenaga kerja kurang ditambah lagi mesti mengurusi demo masyarakat. Rasa was-was selalu menghantui, bahkan sering kucing-kucingan dengan masyarakat saat menggarap petak kebun. Sungguh memang bukan perkara mudah mengelola afdeling, ketika ingin menengakkan aturan, kalau tidak pandai-pandai melihat kondisi, kebun kita dibakar orang. Tapi penulis berkeyakinan setiap masalah pasti ada jalan keluar. Kebun aman, baru bisa berproduksi maksimal, tidak bisa di balik!