Judul di atas kalau dibaca sekilas sepertinya sangat provokatif dan memancing emosi karena menggunakan kata-kata ”merampas” dan ”tanah rakyat”. Sesungguhnya bukan kapasitas penulis untuk membahas masalah sengketa lahan ini dari prespektif hukum. Harap mahfum, penulis ini cuma lulusan teknologi pertanian yang tidak punya dasar pengetahuan hukum yang mencukupi. Penulis hanya ingin berbagi pengalaman sepanjang beberapa tahun terakhir bergelut dengan dunia perkebunan, tentunya dari prespektif dari seorang asisten kebun yang tentu saja adalah ”orang perusahaan”.
Menurut pandangan penulis, urusan HGU (Hak Guna Usaha) lahan perkebunan adalah urusan antara perusahaan dengan pemerintah selaku pemberi kuasa pengeloaan lahan yang di HGU-kan tersebut. Pada dasarnya HGU adalah tanah negara dan tidak dimiliki perorangan yang diberikan ijin pengelolaan ke suatu badan hukum perusahaan dengan jangka waktu tertentu. Tentu saja penerbitan maupun perpanjangan HGU harus melalui serangkaian tahapan sesuai mekanisme dan ketentuan perundaangan. Masalah baru muncul ketika pada tanah yang di HGU-kan tersebut ada sebagain yang telah ditanami/diusahakan rakyat dimana pengelolannya terebut tidak dilengkapi dengan surat-surat tanah yang sah.
Lalu di mana letak kesalahannya? Pemda, perusahaan, masyarakat sekitar adalah stakeholder yang utama. Tentunya perlu ada kerjasama yang menguntungkan demi terciptanya iklim investasi yang baik, tentu saja juga berdampak sangat baik menggerakkan roda ekonomi warga sekitar.
Dari prespektif karyawan perusahaan perkebunan sendiri, sebenarnya munculnya masalah sengketa tanah tidak melulu salah dari pihak luar. Seringkali perusahaan perkebunan tidak tegas dari awal perihal penyerobotan lahan. Ketidaktegasan inilah yang memberikan kesempatan kepada pihak luar untuk mengusahakan lahan tersebut. Seringkali ketidak tegasan tersebut terkait kepedulian akan hal-hal kecil yang sebenarnya berpotensi menimbulkan konflik pada masa yang akan datang. Sebagai contoh kasus adalah banyaknya lebung-lebung kering (daerah rendahan, biasanya menampung air, tidak diusahakan pada perkebunan tebu) yang ditanami tanaman tahunan (karet atau sawit) oleh orang luar padahal lebung-lebung tersebut jelas masuk HGU.
Pernahkan anda merasakan betapa beratnya mejadi sinder tanaman di daerah konflik? Sudah target produksi tidak tercapai, tenaga kerja kurang ditambah lagi mesti mengurusi demo masyarakat. Rasa was-was selalu menghantui, bahkan sering kucing-kucingan dengan masyarakat saat menggarap petak kebun. Sungguh memang bukan perkara mudah mengelola afdeling, ketika ingin menengakkan aturan, kalau tidak pandai-pandai melihat kondisi, kebun kita dibakar orang. Tapi penulis berkeyakinan setiap masalah pasti ada jalan keluar. Kebun aman, baru bisa berproduksi maksimal, tidak bisa di balik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar