Jumat, 09 Oktober 2009

SENGKETA LAHAN PERKEBUNAN: PERUSAHAAN PERKEBUNAN MERAMPAS TANAH RAKYAT?


Judul di atas kalau dibaca sekilas sepertinya sangat provokatif dan memancing emosi karena menggunakan kata-kata ”merampas” dan ”tanah rakyat”. Sesungguhnya bukan kapasitas penulis untuk membahas masalah sengketa lahan ini dari prespektif hukum. Harap mahfum, penulis ini cuma lulusan teknologi pertanian yang tidak punya dasar pengetahuan hukum yang mencukupi. Penulis hanya ingin berbagi pengalaman sepanjang beberapa tahun terakhir bergelut dengan dunia perkebunan, tentunya dari prespektif dari seorang asisten kebun yang tentu saja adalah ”orang perusahaan”.

Menurut pandangan penulis, urusan HGU (Hak Guna Usaha) lahan perkebunan adalah urusan antara perusahaan dengan pemerintah selaku pemberi kuasa pengeloaan lahan yang di HGU-kan tersebut. Pada dasarnya HGU adalah tanah negara atau biasa disebut tanah register dan tidak dimiliki perorangan. Masalah baru muncul ketika pada tanah yang di HGU-kan tersebut ada sebagain yang telah ditanami/diusahakan rakyat dimana pengelolannya terebut tidak dilengkapi dengan surat-surat tanah yang sah.

Lalu di mana letak kesalahannya? Pemda, perusahaan, masyarakat sekitar adalah stakeholder yang utama. Tentunya perlu ada kerjasama yang menguntungkan demi terciptanya iklim investasi yang baik, tentu saja juga berdampak sangat baik menggerakkan roda ekonomi warga sekitar.

Dari prespektif karyawan perusahaan perkebunan sendiri, sebenarnya munculnya masalah sengketa tanah tidak melulu salah dari pihak luar. Seringkali perusahaan perkebunan tidak tegas dari awal perihal penyerobotan lahan. Ketidaktegasan inilah yang memberikan kesempatan kepada pihak luar untuk mengusahakan lahan tersebut. Seringkali ketidak tegasan tersebut terkait kepedulian akan hal-hal kecil yang sebenarnya berpotensi menimbulkan konflik pada masa yang akan datang. Sebagai contoh kasus adalah banyaknya lebung-lebung kering (daerah rendahan, biasanya menampung air, tidak diusahakan pada perkebunan tebu) yang ditanami tanaman tahunan (karet atau sawit) oleh orang luar padahal lebung-lebung tersebut jelas masuk HGU perusahaan. Pengelola kebun dalam hal ini Rayon atau afdeling tidak mempunyai dokumen perjanjian pinjam lahan dengan orang luar yang ingin mengelola. Kalaupun ada, pengarsipan dokumen sangat tidak profesional. Apalagi di level pimpinan (sinder/sinka) sering berganti personel sehingga informasi dan dokumen sering tidak nyambung ke penerusnya apalagi terjadi sengketa di kemudian hari. Filosofinya adalah sejengkal tanah HGU tidak boleh dikelola orang luar, jika sangat terpaksa bisa saja dikelola orang luar dengan perjanjian di atas materai dengan ketentuan pokok sebagai berkut:

  1. Dokumen perjanjian peminjaman lahan dibuat di atas materei, di tandatangani oleh wakil perusahaan, warga yang akan mengusahakan dan unsur pemerintahan desa/kecamatan setempat.
  2. Hanya diperbolehkan menanam tanaman musiman(padi, nanas, singkong dll). Menanam tanaman tahunan (sawit, karet, jengkol) tidak diperbolehkan dengan alasan apapun.
  3. Bersedia menyerahkan lahan pinjaman tersebut kepada pihak perusahaan apabila dibutuhkan sewaktu-waktu tanpa ganti rugi sedikitpun (termasuk ganti rugi tanam tumbuh).
  4. Sebagai pendukung legalitas adanya peminjaman lahan maka pengelola lahan pinjaman tersebut harus memberikan bagi hasil atas hasil yang diperoleh dari pengusahaan lahan tersebut. Di mana besarnya nisbah ditentukan oleh perusahaan.

Tentu saja pemberlakuan aturan di atas harus didukung sepenuhnya dari manajemen dari kantor pusat. Seringkali kasus sengketa lahan, baik antisipasi mauapun penyelesaiannya diserahkan ke afdeling/rayon yang bersangkutan sehingga seolah-olah afdeling hanya menjadi keranjang sampah setiap masalah dan terjadi. Lebih parah lagi afdeling/rayon dibiarkan berjuang sendiri menyelesaikan masalahnya sendiri dengan tertatih-tatih. Pernahkan anda merasakan betapa beratnya mejadi sinder tanaman di daerah konflik? Sudah target produksi tidak tercapai, tenaga kerja kurang ditambah lagi mesti mengurusi demo masyarakat. Rasa was-was selalu menghantui, bahkan sering kucing-kucingan dengan masyarakat saat menggarap petak kebun. Sungguh memang bukan perkara mudah mengelola afdeling, ketika ingin menengakkan aturan, kalau tidak pandai-pandai melihat kondisi, kebun kita dibakar orang. Tapi penulis berkeyakinan setiap masalah pasti ada jalan keluar. Kebun aman, baru bisa berproduksi maksimal, tidak bisa di balik!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar